CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Selasa, 03 November 2009

SUJUD SYUKURKU DALAM SUMPAH DOKTERKU

Selain kematian, sesuatu di dunia ini yang pasti adalah perubahan. Perubahan bagaikan bayangan yang selalu mengikuti sang waktu, dari perubahan panjang bayangan benda, perubahan posisi bayangan benda hingga berubahnya siang dan malam.

Dan saat ini, perubahan mendasar tengah menyapaku. Rasanya baru sebulan yang lalu aku berlari-lari di halaman sekolah dasar sambil bermimpi dengan citaku. Bermimpi menjadi dewa penolong berjas putih. Rasanya baru seminggu yang lalu aku pergi merantau ke negeri orang untuk berjibaku mengejar asaku yang menggebu, jatuh bangun memperjuangkan masa depan dan citaku. Dan rasanya baru kemarin ku bercanda riang dengan para pemimpi yang lain di lorong-lorong Rumah Sakit. Di kejar deadline Sang guru dan bernaung di bawah himpitan dinding rumahnya orang sakit sumber berjuta ilmu.

Ya, sekarang aku berada di puncak itu. Puncak yang dalam pandanganku begitu elok dipandang dari bawah. Puncak yang mampu menyihir ribuan mata memandang. Meskipun dengan ratusan duri menusuk kaki, ribuan sembilu menyayat hati dan lautan peluh orang terkasih. Di bawah picingan mata aku bermimpi. Di dalam kehausan aku berlari. Dan di dalam kegelapan aku mencari. Semua itu tak ku gapai seorang diri, ribuan lilin menerangi langkahku dan Sang Bintang yang menjadi Penunjukku. Hanya karena-Mu aku di sini, merasakan semua nikmat-Mu dan nikmat ilmu yang semoga membuatku lebih dekat mengenal-Mu.

Sejenak euphoria itu membahana, namun perlahan menipis seiring kabut yang berangsur pergi. Ternyata di balik puncakku masih ada puncak-puncak lain yang harus di gapai. Puncak sebenarnya yang harus direngkuh untuk mencapai arti diri. Meski saat ini pandangan masih kabur tertutup kabut, namun ku percaya Sang Bintang akan menunjukkan dan menuntun arahku.

Selasa, 16 Juni 2009

Arti Sahabat

Sahabat,...kata itu apakah hanya sekedar pemanis dari kata "teman" ataukah memang menggambarkan sebuah hubungan yang sebenarnya? Seseorang yang menyiapkan jiwa dan raganya di saat bunga-bunga bermekaran dalam dunia kita, dan seseorang yang menyiapkan perisai dan tongkatnya saat duri dan kerikil menghadang langkah kita. Seseorang yang bersedia berbagi dunianya, bersama belajar dan mengejar angan dari peristirahatan sejenak sampai kearah kita bermuara.

Sahabat bukanlah seseorang yang selalu menutup mata dan telinga tentang dunia kita. Sahabat juga bukan hanya seseorang yang selalu menjulurkan tangan saat dibawah dan setelah itu berlari menari meninggalkan kita tanpa menoleh sedikitpun. Sahabat juga bukanlah telapak kaki yang menginjak rumput di taman, menghalangi fotosintesis hanya untuk kenyamanannya.

Persahabat bukanlah permukaan laut yang dipenuhi buih dan gelombang, meskipun di atasnya kita bisa berselancar dan bermain ombak. namun Persahabatan adalah dasar samudera yang tenang nan elok dengan beribu terumbu karang dan beraneka ikan cantik yang selalu menyegarkan jiwa disaat penat dengan dunia yang dangkal.

Rabu, 20 Mei 2009

Teman baru

Menyenangkan ternyata mempunyai teman-teman yang baru. Teman-teman yang memperkaya aku dengan beribu cerita barunya. Dari mereka aku dapat belajar lebih banyak lagi yang mudah-mudahan akan berguna dalam meniti hidupku ke depan.

Setiap individu memang dilahirkan berbeda. Dengan sifat dan latar belakang masing-masing. Dengan itu mereka merenda kehidupan dengan cara mereka masing-masing. Darinyalah kita mendapat ilmu tanpa perlu bersusah payah dan menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari kehidupan. Hadirnya mereka menambah amunisi dalam diri saat diri ini terdesak dalam pojok hidup. Saat tongkatku yang lama mulai rapuh, mereka hadir menguatkannya meskipun tak dapat menggantikan satu sama lain. Tidak ada istilah baru dan lama untuk sebuah kata teman. Karena mereka ada yang membuat aku ada.

Senin, 13 April 2009

EPISODE IKM

Sebulan ini Aku harus keluar sejenak dari hiruk pikuk gemerlap dunia metropolitan, karena dalam satu bulan ke depan Aku harus mengikuti SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat di sebuah Puskesmas pinggiran kota. Seperti pada umumnya Puskesmas, Puskesmas ku pun terletak di ibu kota kecamatan. Dari jantung kota metropolitan di ujung timur pulau Jawa, jaraknya hanya sekitar 35 Km yang bisa di tempuh dengan kendaraan bermotor ± 50 menit. Namun apa yang ada disana sungguh amat jauh berbeda dengan kota metropolitan. Tak ada hiruk pikuk keramaian kota di sana, bahkan kepemilikan WC pun masih jauh dari harapan dan kalaupun ada, kualitasnya juga sangat jauh dari standart yang ada di kota. Kegiatan MCK masih dilakukan di sungai. Tingkat pendidikan dan pola berfikirnya masih sedikit yang sudah tersentuh modernisasi jaman. Mungkin ini adalah ironi Negara berkembang, kesenjangan social yang ada sungguh sangat besar.

Tetapi sudahlah, bukan porsiku untuk memikirkannya. Sudah banyak ahli yang kepalanya sampai botak yang lebih berkompeten untuk menilainya. Sekarang tugasku adalah menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan lingkunganku yang baru. Sebagai seseorang yang dibesarkan di sebuah tempat penuh kesunyian, dengan lantang kukatakan pada diriku sendiri : “ Aku pasti pasti bisa “. Kumantapkan langkah kaki memasuki kamar kosku yang baru. Sebuah kamar kos yang sederhana berukuran 2,5 x 2,5 m yang didalamnya terdapat sebuah dipan, lemari, serta sebuah meja dan kursi yang semuanya masih dalam kondisi yang layak pakai meskipun sederhana. Lantainya masih dari semen di alasi karpet dari plastic meskipun hanya separuh dari ruangan. Dindingnya terawat dengan baik yang masih tercium bau cat tembok, dan yang paling Aku suka adalah warna temboknya sesuai dengan warna kesukaanku, warna hijau. Sebuah kipas angin sudah tersedia tergantung di atapnya tanpa perlu Aku membayar uang listriknya seperti kosku di kota. “ baik banget nich bu kosnya “, gumamku dalam hati. Harga sewanya juga sangat murah 1/3 dari harga sewa sebuah kamar kos standart di kota. Yach… lumayan lah buat anak kos seperti Aku.

Barang-barangku sudah beres aku rapikan, GI track-ku sudah memberikan kode bising usus meningkat. Sudah saatnya Aku berburu makan malam. Tidak sulit untuk menemukan warung penjual makanan, 20 m dari kosku ada warung nasi yang ramai dikunjungi pembeli. Asumsi dasarku, warung ini ramai pasti enak. Untuk membuktikannya, Aku pesan seporsi nasi lodeh. Selang berapa lama, yang aku tunggu datang juga. Ku mulai suapan pertama nikmat yang telah diberikan padaku. Ehm… lumayan, glossus sampai gasterku tidak menunjukkan reaksi alergi, apalagi setelah Aku tahu harganya, hanya setengah harga makanan di kota. Wah… wah…wah…wah, bisa gemuk sebulan Aku disini tanpa diet tidak perlu seperti di kota.

Kokok ayam dan kicauan burung mengiringi semerbak desau angin semilir. Kristal-kristal bening bertahta dalam hijau dedaunan memantulkan kemilau mentari pagi. Kabut-kabut halus menutupi kemuning padi yang masih tertunduh malu menghadapi dunia. Sebuah ketokan berirama halus membangunkanku dari mimpi indah.
“ nak, ini dimakan dulu “
Sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat tersaji dihadapanku. Wow… nikmat apalagi yang diberikan padaku, dengan harga sewa separuhnya bisa dapat pelayanan dua kali lipatnya. Terima kasih Sang Pengatur Rezeki, sungguh rezeki untuk kita memang sudah ada, kita hanya tinggal untuk menjemputnya. Timbul sebersit pertanyaan dalam hati, “ mengapa di desa kecil seperti di sini, dengan harga sewa jauh di bawah di kota, namun pelayanan yang diberikan pada pelanggan jauh melebihi apa yang ada di kota? Apa mereka mendapatkan keuntungan dari usahanya? Apa mereka tidak rugi? Apa mungkin rasa kemanusiaan mereka lebih tinggi belum tergerus modernisasi yang serba individualistik? Atau mungkin orang kota yang telah menjadi monster pengeruk uang karena semua sendi kehidupan mereka telah di ukur dengan uang?”. Huh… kusantap makanan yang terhidang di depanku, mungkin setelah perutku kenyang, Aku dapat menemukan jawabannya.

Hari ini adalah hari pertamaku masuk di Puskesmas. Kali ini Aku tergabung dengan kelompok yang baru. Anggotanya 6 orang, 3 orang dari kelompokku yang dulu termasuk Aku dan 3 orang lagi pecahan dari kelompok yang lain. Hari ini sesuai jadwal, Kami akan di terima secara resmi oleh dokter kepala Puskesmas dan berkenalan dengan lingkungan Puskesmas. Kepala Puskesmasku adalah seorang perempuan berusia sekitar 50 tahunan yang masih kelihatan cantik sesuai dengan usianya. Kebetulan putri dari beliau adalah junior Kami di kampus. Kami di sambut dengan tangan terbuka dan penuh keramahan oleh seluruh perangkat yang ada di Puskesmas. Sangat jauh berbeda dengan apa yang Aku dapatkan di Rumah Sakit. Kami merasa sangat dihargai dan kehadiran Kami disana sepertinya memang diharapkan. Tugas Kami disini adalah ikut seluruh kegiatan Puskesmas yang berhubungan langsung dengan kesehatan masyarakat, seperti : Posyandu balita, Posyandu lansia, penyuluhan, imunisasi, UKS, dll. Namun Kami tidak di minta untuk ikut dalam pelayanan kesehatan di poli, UGD maupun di rawat inap. Betapa senangnya hati kami, tugas Kami tidak terlalu berat sehingga Kami dapat lebih berkonsentrasi dalam mengerjakan penelitian di Puskesmas.

Hari-hari berlalu agak lebih lambat dari kehidupan di kota. Tak ada sarana dan kegiatan yang dapat dilakukan untuk dapat membuat waktu berputar lebih cepat. Hari-hariku banyak kuhabiskan dalam kamar kosku yang sepi, dalam kesendirian nan sunyi, dan riuh jeritan nyamuk-nyamuk kelaparan. Tak banyak hal yang dapat kulakukan selain membaca dan meratapi kesendirianku dalam sepi. Teman-temanku mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Butuh waktu untuk beradaptasi dengan kelompok yang baru. Dalam hal kegiatan di Puskesmas mungkin kita tidak ada banyak kesulitan, tetapi untuk kehidupan pribadi di luar itu, rasanya butuh kebersamaan lebih lama lagi apalagi latar belakang kita yang jauh berbeda. Sedangkan dengan anggota kelompokku yang lama, rasanya perekat hubungan kita selama koas ikut hilang bersama perginya saudara-saudara seperjuangan Kami dari universitas yang berbeda itu. Meskipun hubungan kita di sini baik-baik saja tetapi semua berjalan tanpa ada suatu bumbu manis yang akan membuat kita terkenang untuk waktu yang lama.

Kegiatan-kegiatan di luar sekolah juga tidak ada di sini. Lingkungan keagamaanku juga ikut hilang hingga waktu terasa berjalan mundur ke belakang. Keterampilan dan pengetahuan di bidang medis pun berjalan di tempat, yang sedikit demi sedikit menguap seiring teriknya cuaca tropis. Betapa banyak menit yang terbuang. Sekeras apapun ku berusaha, yang ada hanya kebosanan yang menghampiri. Membuntutiku bagai bayangan hitam yang setia ikut melangkah kemanapun Aku pergi. Akhirnya ku sadar, ternyata yang menguatkan Aku saat Aku tumbuh dewasa dilingkungan yang sepi adalah karena adanya orang-orang terkasih di sebelahku. Orang-orang yang dengan penuh cintanya, meskipun cara untuk mengungkapkannya berbeda-beda, setia menemani dan membimbingku melewati waktu demi waktu yang sangat berharga.

Kebosanan telah mencapai titik kulminasi. Ku pacu motorku menyusuri jalanan berdebu melawan macetnya lalu lintas metropolitan penuh dengan deru dan tiupan klakson. Kupandangi bangunan-bangunan megah nan indah sepanjang perjalanan menuju kos teman lamaku untuk menyambung kembali silaturrahmi dan mengobati kebosananku. Dan kebetulan teman lamaku itu kondisi psikologis saat ini sama denganku, sedang dilanda kebosanan bagai semut yang kelaparan di stoples penuh dengan gula nan manis. Maka kita putuskan melewatkan hari ini untuk menikmati kehidupan kota. Mendatangi mall-mall satu per satu yang tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Entah untuk berbelanja atau sekedar mengobati mata yang kelaparan. Film demi film di bioskop juga menjadi menu kita hari ini.

Kebosanan-kebosanan itu terobati, namun di saat kaki ini letih untuk melangkah. Saat kenikmatan-kenikmatan itu terus Aku nikmati, ternyata kenikmatan itu membawaku pada kebosanan yang sama meskipun dalam wujud yang berbeda. Kebosanan yang muncul lagi meskipun saat ini Aku tengah berdiri di tengah keramaian kota. Apalagi saat teringat tugas-tugas yang terbengkalai, teringat berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati kebosanan, dan teringat betapa banyak dosa yang telah diperbuat sepanjang hari ini, rasanya kenikmatan yang ku alami tiada artinya.
Akupun bertanya pada diriku sendiri, mengapa kebahagiaan harus didapatkan di luar dari tubuh kita sendiri? Mengapa begitu besar pengaruh factor eksternal untuk membuat kita bahagia, padahal kebahagian yang diberikannya hanyalah kebahagiaan yang semu? Bukankah kita merupakan mahkluk yang diciptakan paling sempurna yang sudah dilengkapi alat untuk membuat kita bahagia? Dan bukankah kebahagiaan adalah fitrah Kita, coba lihat anak kecil, begitu riangnya mereka menikmati hidup? Dimanakah keberadaan tombol kebahagiaan hakiki itu, hingga Aku bisa memencetnya dan melewati detik demi detik yang tidak akan pernah terulang ini penuh dengan kebahagiaan tanpa terganggu sedikitpun dengan kebosanan?

PILIHAN-MU

Pernah Aku memberikan sebuah pilihan pada-Mu, haruskah AKu meninggalkanya. Saat itu Engkau menguatkan aku untuk tetap bertahan. Dan sekarang gelap itu terulang, gelap yang semakin gulita dan meninggalkan kepekatan yang mengental. Terkadang aku bertanya, adakah manfaatnya bagiku. Sesaat mengajakku terbang menikmati indah cakrawala dari birunya langit nan megah, namun sesaat kemudian menghempaskanku ke dasar bumi meninggalkan beribu luka lalu menaburinya dengan lautan penuh garam. Memberikan sikatriks tumbuh keloid yang butuh waktu bertahun bagi kenakort menghilangkan jejak

Ku coba susuri jalan-Mu, kucoba mengamalkan sedikit demi sedikit ilmu-Mu padanya dan ku berikan yang terbaik. Ku berharap ada sedikit perubahan, namun tenyata yang kusirami adalah padang pasir nan tandus yang tidak membekas menguap dalam teriknya mentari. Yang terbalaskan untukku hanya pasir hisap menganga siap menenggelamkanku. Aku pun sadar, bahwa tongkat penyanggaku saat ku lelah tidak ada padanya dan sayap-sayap yang akan mengangkatku saat aku terpuruk tidaklah pula Engkau titipkan padanya.

Dalam sakitku ku mencoba meraba pesan-Mu. Ku mendapat sebuah pelita lagi dalam menerangi hidupku. Pelita itu adalah kesabaran dan keikhlasan. Ternyata kedua akhlak mulia itu memang sulit untuk di dapatkan namun harus diperjuangkan untuk menjadi kekasih-Mu. Setapak langkahku kebelakang, dengan congkak ku mengatakan “AKU TELAH DAPAT MENGUASAI KEDUANYA”, namun kini ku sadar kalau aku masih berada jauh di belakang. Kekasih-ku, berilah aku kekuatan, untuk terus berlari kepada-Mu. Bimbinglah aku dengan kegelapanku dalam jalan-Mu yang lurus.

Dalam gelapku menuju cahaya

Ku bersigap disini
Berdiri menantang matahari
Seorang diri berlari menuju ke arahMu

Ku berlari dengan segenap asa dan dayaku
Dalam gelapku menuju cahaya
Saat kerikil pertama menghadang langkahku
Ku tepis ku balut luka itu dan ku terus berlari

Namun saat kerikil berulang
Langkahku mulai tertatih
Darah mengucur deras penuh dengan luka

Ku pun sadar
Ku tak bisa berlari seorang diri
Kubutuh tongkat yang tetap membuat ku berdiri
Ku butuh sayap yang siap membuatku terbang saat daya menghilang

Kekasihku
Bimbinglah Aku menuju kekasih-kekasihMu
Izinkanku berlari menuju arsyMu bersamanya
Tunggulah Aku dan sambut Aku dengan pelukan hangatMu

Minggu, 22 Maret 2009

LABIRIN KEHIDUPAN

Saat ini ku berdiri dalam labirin yang aku buat sendiri. Labirin yang sebenarnya sudah dipenuhi rambu dan cahaya menuju inti dari hidup. Namun kaki ini tidak dapat melangkah dalam jalur itu. Otak ini seakan terlupa bagaimana cara untuk menyusurinya. Tak ada kekuatan dan tak ada tenaga pendorong. Kenikmatan ke arahNya hanya bisa aku angankan dan aku rindukan tanpa daya untuk aku perjuangkan.

Jalan itu memang terjal, penuh onak dan duri. Jalan itu memang berliku penuh dengan persimpangan yang bisa membuat kita tergelincir dalam jalan kenistaan. Dan jalan itu memang penuh dengan belenggu dari kenikmatan semu. Namun dalam jalan itu ada ketenangan dan kelapangan yang tak dapat di beli dengan seluruh isi dunia.

Ku telah merintis jalan berlari ke arahNya. Ku berlari dalam kegelapanku. Ku mengais pelita demi pelita dengan izinNya. Pelita-pelita itu telah menuntunku menapaki setapak demi setapak, namun kini satu per satu pelita itu telah meredup dan sebagian padam. Ku mulai berjalan sendiri lagi dalam keremangan. Meraba setiap dinding kehidupan yang menghambat langkahku dan membawaku dalam kebimbangan dan kebingunganku labirin kehidupan.

Ku tertatih disini seakan kehabisan tenaga, namun ku sangat merindukan Kekasih-ku. Ku merindukan belaian lembut dariNya, kumerindukan kedamaian saat Ku bersujud dihadapanNya, dan kumerindukan dekapanNya di sepanjang waktuku. Kekasih-ku, bimbinglah Aku kembali kearahMu. Pertemukan Aku dengan kekasih-kekasihMu yang lain tuk berlari bersama menujuMu. Sungguh ku di sini sangat merindukanMu…

Selasa, 03 Maret 2009

SANG PENGIKUT HIPOCRATES








Sore itu begitu terik, matahari memancarkan segenap cahayanya tanpa terhalang segumpal awan. Angin bertiup kencang menyapu debu jalanan yang merangas. Kendaraan berlalu lalang melawan waktu menuju tujuan masing-masung.

Zaidan berjalan kaki menyusuri jalan itu. Jalan yang sudah enam tahun Dia lalui menuju sumber ilmu dari kamar kosnya yang sederhana. Sebuah jas lab warna putih yang mulai pudar, dililitkan di tangan kirinya dan sebuah papan nama menyelip di sela-selanya bertuliskan “ DOKTER MUDA : ZAIDAN S. Ked “. Tas punggung yang tampak berat berisi buku-buku dan alat-alat kedokteran, terlihat sangat membebaninya dalam melangkah. Gurat wajahnya menunjukkan kelelahan yang sudah meminta haknya untuk beristirahat.

Di seberang jalan itu, tampak sebuah warung nasi yang ramai pengunjung. Di tempat tersebut biasanya Dia makan. Namun sore ini, Dia terus melangkahkan kakinya tanpa menoleh sedikitpun. Sore ini kalender menunjukkan tanggal 25, uang sakunya sudah menipis dibelikan buku dan untuk pembuatan referat SMF Interna. Sementara uang kiriman dari orang tuanya masih menunggu beberapa hari lagi.

Zaidan masih dapat berkompromi dengan perut dan nafsunya. Dia terus melangkah, “zaidan…zaidan…”, terdengar suara memanggil namanya. Dia menoleh kea rah sumber cahaya. Di sana berdiri sesosok yang dikenalnya, “haikal”, pekiknya. Haikal adalah teman sebangkunya saat SMA. Dia pun segera beranjak mendekatinya, “ apa kabar, sedang apa Kamu di sini “.

“kabar baik, Aku baru pulang dari tempat kerja, kebetulan lewat sini dank arena tadi belum sempat makan siang, Aku makan siang dulu di sini. Kamu mau kemana”.

“ mau pulang ke kos “

“ Mari Aku antar pakai mobilku, sekalian Aku ingin tahu kosmu “.

Zaidan dipersilahkan masuk ke sebuah sedan mewah keluaran terbaru yang masih tampak baru.

“ Sudah sukses ya Kamu sekarang “

“ Alhamdulillah, lumayan sudah bisa buat makan 3 kali sehari dan membeli mobil ini “.

Dipandanginya sahabat yang sudah enam tahun tidak bertemu. Sahabat yang telah menemaninya melewatkan masa SMA. Sahabat yang secara akademik masih berada dibawahnya, kini telah bisa hidup mandiri secara financial.

Selang berapa lama, mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah rumah sederhana berpagar besi berwarna putih.

“ Di sini kosku, ayo mampir “

“ Lain kali saja, sudah sore. Sekarang Aku sudah tahu kosmu, jadi Aku bisa lebih mudah untuk bersilaturahmi denganmu “

“ Oke, terima kasih ya “

Haikal berlalu bersama mobilnya membelah jalanan. Zaidan beranjak membuka pagar.

“ Baru pulang dari Rumah Sakit, dan? “

“ Iya, mau kemana? “

“ Ah cuma jalan-jalan sore saja menemani Dia “, jawab Habibie – teman seangkatannya di fakultas ekonomi yang sekarang sudah bekerja – sambil menunjuk istrinya yang perutnya membuncit mengandung buah hati mereka yang pertama.

Zaidan berlalu dan masuk ke kamarnya, kamar yang tidak terurus karena kesibukan sang penghuni. Kamar yang dipenuhi bertumpuk-tumpuk buku. Di sudut kamar, tergantung sebuah foto di dinding, sebuah foto wisuda sang penghuni, seorang sarjana yang masih harus berurusan dengan BAAK universitas menagih SPP kuliah. Kamar yang masih harus di bayar oleh keringat orang tua, dan kamar yang sudah sangat haus kasi sayang dan sentuhan seorang wanita. Kamar pemuda 25 tahun, Sang Pengikut Hipocrates.






GREAT “ A “


Awal kita ada karena sebuah masalah. Sebuah kemelut yang tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan Kami. Dua buah fakultas kedokteran dari universitas berbeda yang tidak terikat kerjasama sebelumnya, tiba-tiba harus di gabung jadi satu karena suatu keadaan supaya kepentingan masing-masing dapat di akomodasi. Awalnya Kami menganggap Kalian sebagai ancaman, penyusup, pengganggu dan beribu prasangka jelek lainnya. Dan Kami juga yakin, Kalian pasti mempunyai pikiran yang tidak jauh berbeda degan Kami.

Lembaran waktu terus bergulir, ternyata memang benar bahwa Kita tidak boleh berprasangka, karena sebagian besar dari prasangka adalah salah. Corpus Alienum yang Kita pikir, ternyata bukanlah sel kanker yang merusak. Tetapi Corpus Alienum itu adalah regenerasi dari sel-sel hepatoid lobus hepar Kami, yang tanpa Kami sadari Kami tidak mempunyai lobus itu. Kalian telah melengkapi hepar Kami, The great “ A “, sehingga hepar itu tidak dapat berfungsi dengan baik, mengatur metabolisme menuju cita-cita Kita yang adi luhung.

Ketika perbedaan tidak di anggap sebagai suatu sumber masalah, tetapi di anggap sebagai kekuatan. Maka perbedaan itu akan bersinergi, menghasilkan suatu kekuatan yang dasyat, yang dapat menghancurkan segala karang penghalang yang menghadang.

Kini, saat perpisahan itu harus terjadi. Kita diharuskan bermetamorfosis dalam kepompong yang berbeda, terasa ada ruang kosong yang tidak terisi dan tidak tergantikan. Sungguh di dalam kepompong Kami, Kami merindukan Kalian, dan semoga Kalian juga merindukan Kami.

Surabaya, 25 februari 2009

This is for my coast team

Minggu, 01 Februari 2009

OLEH-OLEH DARI KLINIK ( SIRKUMSISI )

Beberapa minggu yang lalu Aku dapat libur menunggu putaran masuk ke SMF berikutnya. Sudah lama sebenarnya Aku menunggu hal yang satu ini, maklum selama masuk koast atau kurang lebih 1,5 tahun lebih, aku tidak pernah libur, bahkan terkadang hari minggu masih masuk jika kebetulan kena giliran jaga. Alangkah senangnya saat ada pengumuman bahwa untuk masuk SMF selanjutnya ada penundaan karena satu dan lain hal sehingga datang juga waktu libur yang amat sangat dinantikan untuk sedikit bernafas menghilangkan kejenuhan rutinitas. Namun sekalinya datang nikmat itu amat sangat melimpah dan bisa di bilang mubasir. 10 minggu bukan waktu yang singkat untuk berleha-leha tanpa aktivitas . Sempat bingung juga apa yang harus dilakukan untuk mengisi waktu yang hanya diberikan sekali dan tidak akan pernah datang kembali itu. Aneh ya… tapi itulah manusia yang terkadang baru bisa menyadari nikmat yang diberikan setelah nikmat itu diambil dari genggamannya, seperti Aku saat ini yang kurang bisa mensyukuri nikmat berupa aktivitas menuntut ilmu dan bekerja namun setelah nikmat itu pergi, Aku malah kebingungan untuk mencarinya lagi.
Akhirnya rencana pun di buat untuk mengisi waktu kosong. Beberapa minggu kupergunakan untuk benar-benar berlibur dari segala macam aktivitas. Setelah di rasa cukup, sisanya digunakan untuk menambah kemampuan diri. Salah satu pilihan yang Aku pilih adalah magang di sebuah praktek dokter dalam hal ini klinik lebih tepatnya. Selain untuk mengamalkan ilmu yang sudah dititipkan, juga belajar menghadapi medan yang sebenarnya yang akan dihadapi seorang dokter disamping masalah finansial tentunya.
Pasien pertama adalah dua orang bocah kelas 2 SD yang mau khitan. Wah gawat… selama masuk SMF bedah sampai Aku lulus tidak pernah diajari OPTEK sirkumsisi dan di bedah sentral maupun poli bedah umum tidak ada contoh kasus pasien yang dipotong prepusiumnya, yang merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki dalam sebuah ajaran agama supaya dapat suci lahir dan batin disamping masalah kesehatan. Bisa-bisa tuduhan malpraktek - yang memang sangat gampang dituduhkan orang-orang tak bertanggung jawab - di alamatkan padaku. Sebab sekarang Aku bertanggungjawab penuh atas pasienku tidak seperti di RS yang masih di bawah tanggung jawab dr Spesialis “sang guru”. Tapi kebetulan Aku mendapatkan pasien khitan dalam sebuah BAKSOS yang Aku ikuti namun ilmu itu sudah terkubur agak dalam di dalam korteks serebriku. Maka kuputuskan untuk menjadi asisten saja pada pasien yang pertama, sambil melihat dan memanggil kembali ilmu yang hampir terkubur itu, baru pada pasien kedua aku bertindak sebagai operator.
Pasien pertama cukup kooperatif sehingga operasi minor ini belangsung lancar dan singkat. Setelah pasien pertama berlalu maka di panggil pasien selanjutnya dan giliran aku untuk beraksi. Seorang bocah laki-laki kelas 2 SD dengan KU dalam batas normal masuk ke ruang operasi dengan sedikit senyum simpul di bibirnya yang mungil. Dengan tenang Dia naik sendiri ke meja operasi sambil membuka pakaian bagian bawahnya dan berbaring dengan rileks. Ku persiapkan alat-alat operasinya sambil ku lihat bocah kecil itu yang masih tersenyum simpul dengan damai. Namun Aku mulai sedikit demam panggung, tiba-tiba ruangan itu bertambah hangat sehingga tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuhku dan Aku tidak mampu lagi mengontrol neurotransmitter di ototku, tremorlah kedua extremitas superior dan inferiorku. Kupandangi lagi pasien sirkumsisi pertamaku, seutas senyum simpulnya serasa angin sepoi-sepoi di pegunungan yang menyejukkan hati dan membangkitkan neurotransmitter antagonis yang berkompetisi menghambat neurotransmitter-neurotransmitter simpatik yang sedang kesetanan. Aku mulai disinfeksi lapangan operasi, “dingin” celoteh lucu anak itu saat Aku mengusapkan alkohol ke lapangan operasi. Disinfeksi selesai, langkah selanjutnya adalah anaetesi. Kali ini Aku mengunakan anaestesi lokal, kuambil seampul lidokain sambil memandangi bocah lucu dengan senyum yang terus mengambang. Lalu kupatahkan ampul itu dan kuambil spuit 3 cc, ku buka penutup jarumnya dan ke sedot isinya ke dalam spuit. Sesekali kupandangi bocah itu, dia masih berbaring dengan tenang namun kali ini senyum itu tak lagi menghiasi wajahnya hanya tampak kristal-kristal bening di bola matanya. Aku dekati sambil membawa spuit 3 cc berisikan lidokain dan berujar “suntik ya dik”. Tiba-tiba Kristal-kristal bening itu pecah menjadi bandang yang siap memporandakkan segala yang ada. Bocah itu meronta dengan keras tidak mau di suntik. Air laut yang tenang berubah menjadi tsunami hanya gara-gara sebuah jarum suntik dan ini juga merobohkan ketenangan dalam diriku. Tremor makin menjadi dan kamar semakin memnghimpit, mengikis kepercayaan diriku yang memang sekulit ari.
Bocah ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena memang sedari bayi mereka sudah di sugesti oleh lingkungannya bahwa “kalau nakal nanti di suntik sama dokter”. Jadi sudah tertanam dalam diri mereka bahwa disuntik itu adalah hal yang tidak menyenangkan serta menyakitkan. Dan sekarang, saat Sang anak harus benar-benar di suntik, orang tua tidak bisa serta merta dalam sekejap mata mengubah pandangan anak tentang jarum suntik yang sudah sangat mengakar dalam pikirannya.
Butuh sedikit waktu untuk menenangkannya, dan butuh lebih banyak orang untuk membantu memfiksasinya. Setelah semuanya sedikit terkendali, Aku berancang-ancang melakukan anaestesi. Namun baru satu jurus, Dia kembali meronta. Hal ini semakin mengikis kepercayaan diriku, takut salah, takut jarumnya patah, takut malah menusuk organ-organ yang lain dan pikiran-pikiran aneh lainnya yang terus mengganggu diriku. Hal ini terjadi berulang sampai benar-benar habis kepercayaan diriku untuk menganaestesinya. Akhirnya dengan berat hati tugas itu Aku serahkan sama seniorku. Singkat kata anaetesi selesai, setelah obat bekerja secara optimal, ku mulai tugas yang sebenarnya. Aku kumpulkan lagi sisa-sisa kepercayaan diriku. Aku mulai dengan memotong preputiumnya meskipun dengan tangan masih sedikit tremor dan keringat yang masih terus mengalir. Rasanya butuh omloop untuk sekedar mengelap keringatku yang mulai menggangu pandangan. Namun karena ini “hanya” operasi minor dan “hanya” klinik kecil jadi jasa omloop hanya dalam angan.
Setelah itu baru aku merawat perdarahan yang terjadi, yang dengan penuh rasa syukur kepada-Nya, perdarahan yang besar yang bisa menyebabkan pasien sampai syok tidak terjadi. Setelah itu ku jahit lukanya, pasang perban dan selesailah aku menangani pasien pertamaku dengan lancar.
Setelah semuanya selesai dan pasien sudah berpakaian rapi, tiba saatnya moment yang paling di tunggu-tunggu yaitu pemberian “uang jasa” he3x….. rasanya senang sekali yang sangat sukar digambarkan. Akhirnya sekian tahun belajar untuk mencapai saat ini, rasanya baru kali ini ilmu itu berguna dan kerja keras kita dalam menuntut ilmu terbayarkan. Namun timbul juga di lema saat mengingat waktu Aku bermalas-malasan belajar. Aku tidak pernah sadar bahwa dari hasil belajarlah nantinya aku dibayar untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Dan dengan belajar, semakin banyak orang yang dapat Aku bantu. Tentunya peran Aku disini hanya sebagai perantara dari Yang Mempunyai Segala Kuasa atas itu.
Satu hal lagi yang Aku sadari, bahwa kekurangpercayaan diriku saat menangani pasien karena kurangnya ilmuku. Seandainya ilmu Aku tentang sirkumsisi baik, ilmu komunikasiku dengan pasien baik dan ilmu-ilmu yang kudapat dari pengalaman kasus saat koast mumpuni, tentu hal ini tidak akan terjadi. Mudah-mudahan di sisa waktuku ini, Aku dapat belajar lebih banyak lagi baik dari buku maupun dari pengalaman. Dan semoga apa yang kulakukan pada pasien ini bisa menjadi sumber pahala meskipun raga ini tak lagi berkelana di atas muka bumi. Amien…

OLEH-OLEH DARI KLINIK ( ENSEFALOPATI HEPATIS )

Petang yang indah, sang surya baru saja menunaikan tugasnya hari ini dengan sedikit meninggalkan cahaya kemerahan di ufuk barat dan mengetuk pintu membangunkan insan di belahan bumi lain. Cahaya itu masih sanggup menyinari pucuk-pucuk padi yang masih hijau membentang di hamparan sawah nan asri. Cahaya itu juga masih sanggup menuntun kawanan burung kembali kesarangnya setelah sepanjang hari berkelana. Angin sepoi-sepoi mengiringinya memberi sejuta ucapan terima kasih telah menghangatkan bumi.
Petang ini kusempatkan diriku dari teras belakang menikmati fenomena keindahan alam nan alami yang setiap hari terjadi namun sangat jarang menikmatinya. Fenomena siang berganti malam yang kerap kali terabaikan padahal dalam itu semua terdapat berjuta ilmu bagi yang membacanya.
Sayup-sayup ku dengar langkah seseorang mendekati klinik, kulangkahkan kakiku ke depan. Ternyata benar, seorang wanita yang kukenal baik datang tergopoh-gopoh. Tanpa banyak basa-basi, wanita itu bilang bahwa ayahnya seperti orang bingung. Diajak bicara tidak nyambung dan gelisah tidak karuan. Dia memintaku untuk datang memeriksanya di rumahnya.
Segera kuambil peralatan kedokteran dasarku, tanpa membuang waktu ku segera berangkat. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari klinik, sehingga kurang dari 5 menit aku sudah sampai. Disana sudah ramai para sanak saudara dan tetangga karena memang kultur masyarakatnya masih mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi. Ku segera masuk dan kulihat keadaan pasien, seorang laki-laki usia 75 tahunan dengan kesadaran menurun “delirium” dan tubuhnya tampak ikterus. Tekanan darah masih 130/70 mmHg. Dari riwayat penyakitnya, pasien ini sudah menderita diabetes mellitus sejak usia 30 tahunan yang tidak terkontrol. Sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu, dia didiagnosis sirosis hepatic dan gagal ginjal kronik dengan asites yang sukar di kendalikan. Saat itu Aku langsung mendiagnosis ensephalopathi hepatic stadium I-II e.c sirosis hepatis Child C dengan sindroma hepatorenal. Kasus yang berat nich… prognosisnya dubia ad malam. Memang untuk pasien yang ensephalopthi hepatic tipe portosistemik seperti pasienku ini, jika factor pencetus dapat teratasi, dengan pengobatan standar 80% bisa kembali sadar. Namun untuk melakukan pengobatan standart sulit tercapai. Jangankan melakukan lavement, untuk memasang infuse saja, untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan serta jalur memasukkan obat, tentangan dari keluarganya sangat tinggi. Hal ini ada beberapa sebab : (1) saat tangan pasien dipegang untuk dipasang infuse pasien menarik tangannya. Menurut keluarga dan para tetangga, itu berarti pasien menolak tetapi tidak tahu cara untuk bilang pada kita. Padahal menurut Aku, hal ini karena GCS pasien menurun sehingga gerakan yang terjadi adalah involunter dan pada tes movement hal ini menunjukkan angka 4 menurut GCS. (2) hasutan dari para kerabat dan tetangga serta paranormal yang bilang karena kerasukan jin-lah padahal hal ini sudah jelas gejala neuropsikiatri dengan et causa yang sudah jelas “sirosis hepatis”. Parahnya mereka lebih percaya “orang pintar” daripada Aku sebagai seorang dokter, mungkin Aku “bukan orang pintar kali yach” bagi mereka. Aku Sebagai seorang Dokter, meskipun hanya dokter muda yang sedang magang, hanya bisa menyarankan serta memberikan penjelasan seperlunya namun keputusan sepenuhnya berada di tangan pasien dan keluarga.
Rasa marah, kecewa, kasihan dan putus asa bercampur aduk. Terkadang muncul sebersit pikiran untuk membiarkannya toh meskipun pasien itu bisa sadar namun penyakit dasarnya “sirosis hepatis” tidak bisa disembuhkan kecuali dengan transplantasi hati. Namun yang memegang takdir bukan Aku dan Aku tidak boleh mendahului takdir sebab Aku tidak tahu takdir untuknya seperti apa sehingga Aku hanya bisa berusaha dan menyerahkan hasilnya pada Yang Mengatur Takdir. Keadaan ini diperparah oleh semua orang yang bertanya padaku ingin tahu penyakit pasien. Susah juga untuk menjelaskannya, sebab Aku terikat sumpah dokter bahwa akan menjaga kerahasiaan kesehatan pasien, namun orang-orang itu tidak tahu dan tidak mau tahu. Kalau Aku tidak menjawab, dikira Aku hanya dokter yang baru lulus yang tidak tahu apa-apa. Ku jelaskan secara implisit, namun pendidikan mereka yang rata-rata rendah tidak juga mengerti. Ingin kujelaskan secara gamblang bahwa ini rahasia pasien, rasanya kurang sopan sebab mereka umumnya lebih tua dan kenal baik dengan Aku. Aku hanya senyam senyum sambil menjawabnya dengan apa yang sudah mereka ketahui tentang penyakit pasien sebelumnya. Satu lagi PR besar buatku yaitu belajar berkomunikasi dengan baik dengan semua kalangan.
Setelah beberapa jam, akhirnya kesadaran pasien terus menurun sampai pada “sopor”. Pasien seakan kelelahan dan tidur dengan pulas, namun para keluarga dan tetangga malah senang karena pasien tenang. Sementara Aku semakin ketar-ketir GCS semakin menurun. Aku periksa tekanan darahnya, wow… 170/110 mmHg. Sindroma hepatorenal yang mengakibatkan teraktivasinya system RAA (renin-angiotensin-aldosteron), GGK kumat. Hipertensi berat… varises oegshophagus lalu hematemesis-melena mengancam, bila hal ini terjadi tentu keadaannya semakin parah. Setelah ku beri penjelasan dan sedikit bujukan pada keluarga pasien, akhirnya mereka bersedia pasang infuse untuk mengatasi GGK-nya tersebut. Akhirnya infuse terpasang, cefotaxim dan furosemide berhasil masuk. Namun lavement dan laktulosa per oral masih tidak dapat dilakukan karena mereka juga menolak pasang NGT.
Prinsip penanganan GGK, pasien tidak boleh kekurangan cairan namun juga tidak boleh kelebihan cairan. Saat ini pasien mengalami penurunan perfusi ginjal, perlu tambahan cairan segera. Namun pasien juga mengalami hipoalbumin yang diketahui dari pemeriksaan lab sebelumnya. Waduh bagaimana ini, mau di grojok salah-salah edema paru. Tetesan biasa sampai kapan baru bisa mengatasi penurunan perfusi ginjal. Mau dirujuk ke RS, keluarga pasien tidak bersedia. Timbul lagi penyesalan mengapa Aku tidak belajar lebih banyak lagi sehingga ilmuku tidak terbatas seperti sekarang. Ingin rasanya ada para dosen pembimbing disebelahku sehingga Aku bisa bertanya dan belajar lebih banyak lagi. Akhirnya dengan bekal ilmu seadanya, kuputuskan mengambil jalan tengah, 40 tetes permenit. Aku observasi ketat, ku cek tanda vitalnya, suara parunya dan tak lupa produksi urine dari kondom kateter. Setelah 2 flash comafusin dan asering masuk, kulihat produksi urine sekitar 0,5 cc/kgBB/jam dan Aku ukur tekanan darahnya lagi, uh… 140/80 mmHg. Syukurlah… satu masalah teratasi dan pengobatan medis dapat dilakukan meskipun tidak optimal 100 %. Setelah itu tetesan aku ganti maintenance 20 tpm, ku observasi beberapa saat.
Setelah ku pikir keadaan pasien sudah stabil, aku pun pergi untuk berkompromi dengan rasa ngantuk setelah sepanjang malam berjuang keras berusaha menjadi perantara-Nya yang terbaik. Berjuang melawan progresifitas penyakit, berjuang menyakinkan keluarga dan tetangga pasien, serta yang terberat melawan diri sendiri. Melawan putus asa, melawan marah, melawan perasaan tidak dihargai dan melawan penyesalan karena kebodohan diri sendiri.
Semua hal yang telah dipercayakan pada Kita, selalu meminta konsekuensi. Ilmu kedokteran yang telah dipercayakan di titipkan padaku juga telah meminta konsekuensinya, seperti malam ini. Dan sungguhpun Kita tidak bisa menuntut lebih hal yang akan dipercayakan pada kita, sebab Zat Yang Memilikinya Maha Mengetahui kadar kemampuan Kita. Semoga Aku senantiasa menjadi orang yang pandai bersyukur dan pandai dalam menjaga amanah.

Selasa, 06 Januari 2009

Virus kata

Virus Kata
Mungkin dapat hidup lebih lama dari manusianya
Dan penyebarannya pun lebih cepat dari pada kuman TBc
Manifestasinya juga lebih kompleks daripada HIV

Sebegitu ngerikah...?!?
Patogenesisnya begitu kompleks
Nekrosis terjadi dimana-mana
Dan mungkin irreversibel

ada yang mau...???
rasanya hanya orang gila yang mau
tapi anehnya mereka senang mendengarnya tanpa mengaktifkan sistem imunitasnya
bahkan mereka berlomba-lomba menciptakan virus-virus kata varian baru untuk lingkunganya

tapi pernahkah mereka berfikir
bila mereka sendiri yang terinfeksi
terinfeksi oleh virus yang belum tentu kebenarannya
maukah hidupnya hancur karena sesuatu yang tak diperbuatnya

D.Permadi
Jember,17 april 2007

Senin, 05 Januari 2009

AKHIR PERJALANAN Co-AST

Tanpa terasa, putaran waktu telah membawaku ke sebuah akhir perjalanan. Sebuah ujung dari episode hidup yang akan sangat berperan penting dalam meniti masa depan. Tinggal selangkah lagi aku akan menginjakkan kaki di garis finis setelah melewati rute yang terjal dan berliku. Garis finis yang telah aku impikan dari semenjak kecil meskipun saat ini ada lagi garis finis baru yang ada dalam angan dan harus segera diperjuangkan. Garis itu menari-nari di pelupuk mata siap menyambutku dengan tangan terbuka dan memberikan sebuah hadiah penuh misteri yang akan mengiringiku menuju garis pemberhentian terakhir dari jasad yang sedang berkelana di atas bumi.
± 1,5 tahun yang lalu Aku datang ke Rumah Sakit tempatku Co-Ast dengan berbagai macam angan dan tujuan. ku datang kesini untuk mengembangkan kemampuan cerebrumku, tidak hanya hemisphere sinistra yang memang mangharuskanku datang kesini, tapi juga untuk pengembangan hemisphere dextra. Ku berharap disini Aku dapat menyeimbangkan kedua belahan hemisphere sebagai bekalku menghadapi tantangan hidup yang semakin menantang. Karena memang telah Aku sadari dari awal bahwa hemisper dextra-ku tidak berkembang dengan baik dan memang selama ini sedari kecil hanya hemisphere sinistraku yang dikembangkan. Padahal yang menentukan kesuksesan hidup tidak hanya hemisphere sinistra tetapi juga hemisphere dextra dan menurut penelitian peranan dari EQ (hemisphere dextra) lebih besar dibandingkan IQ (hemisphere sinistra) dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang disamping unsur SQ yang juga memegang peranan yang tidak kecil. Dan masih menurut penelitian bahwa kemampuan hemisphere sinistra dalam hal ini menghafal, merupakan kecerdasan paling primitive dari seorang manusia.
Hemispere sinistra, ku datang kesini dengan bekal Hemispere sinistra yang ku isi sangat ala kadarnya karena kelalaianku sewaktu kuliah dulu. Namun di sini dengan bimbingan para dr Spesialis dan guru-guruku para pasien yang rela tidak rela memberikan jiwa dan raganya untuk aku pelajari, hemisphere itu mulai terisi meskipun masih amat sangat banyak ruang kosong yang belum terisi. Dan ternyata belajar disini lebih berarti dari pada belajar 4 tahun di bangku kuliah. Semoga ilmu yang ku dapat disini terus berkembang dan Aku dapat mengamalkanya untuk diriku sendiri dan semua orang yang bisa Aku bantu. Semoga Yang Maha Penyembuh memberiku kepercayaan untuk dapat menjadi perantara-Nya dalam menyembuhkan dan mengobati Pasien.
Hemispere dextra, Betapa Yang Berkuasa padaku begitu baik padaku. Aku datang kesini untuk merasakan bagaimana indahnya persahabatan dan aku juga ingin mengerti perasaan orang lain dengan menangkap semua sinyal yang dipancarkan orang lain. Dia telah mengabulkan semuanya meskipun Aku masih harus banyak belajar. Dia menganugerahiku 10 orang sahabat dengan karakter masing-masing yang selalu menghiasi hari-hariku dengan torehan tinta emas dan memperkaya batinku. Mereka mengajarkanku bahwa di dunia ini banyak karakter manusia yang masing-masing karakter mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan Aku harus menghargai dan berterima kasih terhadap perbedaan. Aku banyak belajar disini, bagaimana mengenal karakter beragam individu dan mengambil pelajaran dari tiap karakter, bagaimana norma-norma susila yang ada dalam pergaulan. Ku juga belajar bagaimana mencari jalan keluar dan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah yang sebelum – sebelumnya tidak dapat aku lakukan. Ku belajar bagaimana berkomunikasi dan memupuk rasa percaya diri (misalnya dengan mengganti model rambut yang tidak lazim sebagai gaya dokter muda tiap pindah SMF, nggak penting sich tapi ku rasa cukup efektif, cie…).
Waktu-waktu yang Kita lewati bersama telah mengajarkanku banyak hal yang mudah-mudahan membawa berkah untuk ku arungi hidupku selanjutnya. Aku juga merasakan bagaimana kehangatan berada di tengah teman – teman. Banyak kegiatan bersama yang kami lakukan sehingga kami terasa begitu dekat. Adanya masalah – masalah memang bikin pusing namun itu yang membuat kita semakin kompak. Terima kasih pada-Mu, Kau telah menganugerahkan orang-orang hebat disekitarku. Ku merasakan kebersamaan itu, ku merasakan indahnya sama-sama menjadi kepompong untuk menjadi kupu-kupu yang selalu akan memberikan keindahan untuk dunia. Di sini Ku merasakan semua hal yang sedari kecil hanya bisa ku impikan. Teman-temanku kelompok A tempatku bersama menjalani Co-Ast… jika kalian melihat pedagang besi tua di toko-toko kumuh, jika kalian melihat pedagang sate sedang bermandi keringat mengipasi satenya, dan jika kalian makan makanan yang keasinan, ingatlah bahwa di ujung timur pulau itu ada Aku. Aku yang selalu mengenang kalian, Aku yang penuh dengan kekurangan, dan Aku yang selalu menunggu dengan tangan terbuka kabar kalian. Terima kasih atas semuanya yang tak dapat kusebutkan satu per satu dan maaf bila karena kebodohanku beribu dosa ku perbuat untuk kalian. I LOVE YOU ALL…!!!
Aku juga datang kesini untuk memperkaya dan belajar lebih banyak tentang apa yang harus kupersiapkan untuk menghadap-Nya kelak. Dan segala puji memang hanya untuk-Nya, ku mendapatkan hal itu meskipun masih amat sangat banyak kekurangan. Terima kasih guru-guru akhiratku, semoga yang telah kalian ajarkan bisa menjadi penyelamatku kelak dari panasnya api abadi. Semoga kail yang engkau berikan senantiasa ku gunakan untuk mendapatkan ikan-ikan nan elok lebih banyak lagi. Penuntun-ku bimbinglah terus kaki ini dalam melangkah agar senantiasa bergerak di jalan lurus-Mu.
Dan satu lagi keinginanku, dan mungkin ini keinginan paling konyol yang ku punya. Ku ingin berdiri di atas panggung, dilihat banyak orang dan mengeluarkan suara falsku dihadapan semua orang. Dan sekali lagi terima kasih pada Yang Berkuasa atas Aku, engkau telah menganugerahkan sahabat-sahabat terbaik yang membantuku untuk itu sampai mengajakku menjadi pelanggan sebuah tempat hiburan dan tidak malu untuk terus mendukungku. You are the best…!!! Tetapi ini adalah salah satu jalan yang ku tempuh untuk sekali lagi mengembangkan hemisphere dextra-ku. Tetap semangat…!!!
Ku sadar bahwa tak selamanya usaha yang keras dan doa yang tulus selalu berbanding lurus dengan keberhasilan. Di atas itu semua masih ada Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi. Ikhtiar - doa – tawakal kunci sukses menjalani hidup. Jiwa akan semakin tenang karena tingkat kepasrahan dan kecintaan pada-Nya semakin berlipat. Semua yang terjadi atas ijin-Nya, Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita dan Dia jugalah yang menjamin atas segala akibatnya (so ngapain pusing toh sudah ada blanked Garanty dari Yang Punya, iya nggak?).

EPISODE KESEDIHAN HIDUP

Sedih, kecewa dan terluka adalah rasa yang akan selalu datang silih berganti dengan senang dan bahagia. Sedih, kecewa dan terluka adalah hal yang paling ingin dihindari dalam hidup ini. Tak perlu kerja keras untuk merasakan hal tersebut, rasa itu bagai tamu yang datang tanpa permisi dan sangat betah sehingga perlu kerja keras untuk dapat mengusirnya. Mereka berkerak dalam relung terdalam yang sangat sukar di tembus oleh cahaya. Berbeda dengan perasaan senang dan bahagia, yang butuh perjuangan untuk mendapatkannya dan juga butuh kerja keras untuk mempertahankannya. Semua orang menginginkannya, namun sayang mereka laksana putri raja yang sangat pemalu dan hanya sesekali menghirup udara kebebasan untuk menyegarkan dunia.
Begitu banyak sedih, kecewa dan luka terhampar dalam perjalanan hidup. Menggelayut membebani kaki untuk melangkang. Terkadang hati meratap penuh amarah pada Yang Menggariskan nasib yang di rasa tidak adil. Rasa itu menyeruak dalam dada dan siap menghantam menghancurkan segala yang ada. Memang itulah kesedihan, dunia terasa tiada lagi berwarna. Tak ada semerbak bunga kasturi dan tak ada melodi indah kecapi. Semua di rasa hampa laksana padang pasir gersang nan tandus yang tak berujung.
Namun itulah hidup, terkadang tidak sesuai dengan ingin di hati. Namun kita terkadang tidak mengetahui apa yang ada di balik kesedihan karena keterbatasan indra dan akal kita. Kita tidak menyadari bahwa untuk mendapatkan kebahagian membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Dengan segala kesedihan itu, kita dapat menggapai puncak dari kebahagiaan. Hadapilah dengan kelapangan hati, dan kelapangan hati itu sejatinya bersumber dari Yang Mempunyai Hati dan Yang Menciptakan Hati. Jangan takut akan kesedihan karena sejatinya bersama kesedihan pasti ada kemudahan. Pasrahkan semua beban di pundak pada kekuatan Yang Maha Besar dan terus berlari kencang biar Dia yang mengurus segala urusan karena memang Dia tidak pernah salah mengurus mahkluk-Nya.

BERJUTA KEBAHAGIAAN DOKTER MUDA

Tak selamanya hari-hari Dokter Muda selalu dipenuhi duka, ada berjuta kebahagiaan di sana karena memang segala kesusahan selalu dibarengi dengan kemudahan. Suka dan duka adalah dua hal yang akan selalu menghiasi kehidupan kita, bergantian sebagaimana malam mengantikan siang. Begitu pun dunia Dokter Muda.
Menurut para pembimbing Dokter Muda di Rumah Sakit, tugas dokter umum dan yang harus bisa dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Menegakkan diagnosis
2. Menegakkan diagnosis
3. Menegakkan diagnosis
4. Memberikan terapi
5. Dan yang terakhir menentukan prognosis.
Jadi tujuan dari pendidikan Dokter Muda adalah membimbing para Dokter Muda supaya dapat menegakkan diagnosis. Untuk dapat menegakkan diagnosis bukan pekerjaan yang mudah karena sebuah symptom dan atau sign mempunyai beragam differensial diagnosis yang semuanya mirip-mirip. Apalagi Dokter Muda di didik untuk dapat menegakkan diagnosis dengan menggunakan sesedikit mungkin pemeriksaan penunjang. Jadi untuk dapat menegakkan diagnosis diperlukan pengusaan materi yang lengkap dan pengalaman yang cukup.
Setiap hari kita menangani pasien dan setiap kali itu pulalah kita terus di uji. Di uji kemampuan analisis kita dari symptom dan sign yang ada agar diagnosis tegak, baru selanjutnya memikirkan terapi (tentunya untuk hal ini Dokter Spesialis lebih berperan). Kebahagiaan yang kita dapatkan saat diagnosis yang kita tegakkan benar, merupakan kenikmatan tersendiri bagi seorang Dokter yang tidak bisa digantikan dengan apapun dan susah dilukiskan dengan kata-kata. Dengan dapat menegakkan diagnosis kita akan merasa perjuangan kita ada hasilnya dan ini merupakan pintu awal kita untuk dapat masuk dan membantu mengobati pasien.
***
Laporan kasus dan referat, adalah tugas rutin yang dihadapi Dokter Muda. Untuk membuatnya dibutuhkan persiapan extra-matang agar tidak menjadi bulan-bulanan di kursi panas saat presentasi sehingga harga diri dan air mata tidak perlu jatuh membanjiri seisi Rumah Sakit. Langkah awal untuk membuatnya adalah mencari referensi bahan yang akan dipresentasikan. Referensi dapat diperoleh dari berbagai text book dan dari artikel internet baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa asing, dan yang pasti referensi tersebut harus sudah dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah. Selanjutnya adalah mempelajari semua referensi yang ada. Dari pengalaman penulis, setelah membaca referensi kita akan merasa semakin tidak mengerti penyakit yang akan dipresentasikan laksana meminum air laut yang asin yang justru membuat semakin haus. Karena semakin kita belajar, kita akan menemukan pertanyaan-pertanyaan baru yang susah untuk di jawab. Setelah itu baru menyusunnya dan membuat power point presentasi serta mencetaknya. Setelah disetujui dan jadwal presentasi sudah disetujui oleh dokter pembimbing, maka tibalah saatnya duduk di “kursi panas”.
Duduk di “kursi panas” ibarat seorang narapidana yang sedang duduk di kursi pesakitan di depan para hakim yang akan membacakan eksekusi. Ini merupakan saat yang tepat bagi myocardium untuk berlatih berolahraga. Saat adrenalin membanjiri seluruh tubuh seakan kaki tidak lagi menginjak bumi. Semua sorot mata terpusat pada kita. Sorot mata dokter spesialis yang tajam siap merontokkan isi hemisphere sinistra, ditambah lagi sorot mata para dokter muda yang siap bertanya dengan beragam motivasi, mulai motivasi untuk memberikan kesan bahwa dia pintar dengan berusaha memberikan pertanyaan yang cerdas sampai motivasi untuk menjatuhkan terpidana dengan menyiapkan pertanyaan aneh bin ajaib. Presentasi dimulai, sindroma tremor yang menyerang seluruh tubuh membuat pointer tak jelas diarahkan kemana, lidah dan otak tak lagi berkoordinasi dengan baik. Seperti mobil tua yang sering ngadat, presentasi selesai juga. Tiba saatnya mempertanggungjawabkan presentasi yang disampaikan. Saat pembantaian di mulai, pedang-pedang yang berkilatan siap menghunjam jantung. Jika dapat melewatinya dengan baik, dunia serasa tercipta hanya untuk kita. Beban di pundak yang selama berhari-hari sampai berminggu-minggu terus mengerogoti seakan luntur tak bersisa. Kaki akan terasa ringan untuk melangkah dan kepala bagaikan ayam jago yang baru menang sabung ayam. Bibir bernyanyi sehingga suara sumbangpun terdengar indah melebihi suara emas Chrisye.
***
Pernah suatu saat, Penulis akan berpergian. Karena tidak ada kendaraan pribadi dan tidak ada seorangpun yang bersedia jadi sopir, maka penulis memutuskan menggunakan angkutan umum kota. Setelah berdiri agak lama di pinggir jalan, akhirnya ada juga angkutan yang ditunggu. Setelah menghentikannya, penulis langsung masuk dan duduk di bangku penumpang. Penulis duduk di samping seorang pria setengah baya tanpa begitu memperhatikannya. Penulis merasakan sesuatu yang janggal semenjak duduk, ada sorot mata tajam yang memperhatikan gerak-gerik penulis. Sorot mata itu berasal dari pria di sebelahku. Beberapa saat kemudian, pria itu berkata, “ adik dokter, kan?”. Sungkan juga untuk mengakuinya karena di belakang gelar itu masih ada tambahan lain yaitu “ Muda” dan nada suara pria itu dapat di dengar dari seluruh sudut dalam kendaraan tersebut. Dengan sedikit berat hati, akhirnya penulis mengaku juga. Lalu pria itu bercerita bahwa beberapa bulan yang lalu, anaknya sakit dan di rawat di Rumah Sakit tempat Penulis Praktek dan kebetulan yang merawatnya adalah penulis. Pria itubercerita bahwa anaknya sekarang sudah sembuh berkat pengobatan di Rumah Sakit dan sangat berterima kasih atas perawatan yang penulis berikan.
Jika tidak terhalang rasa malu, air mata haru ini akan menetes. Keluarga pasien yang sering kali terabaikan masih mengingat Kita. Perasaan berguna karena dapat membantu orang lain keluar dari kesulitan yang membelenggunya. Ternyata masih ada juga yang memperhatikan Dokter Muda, sebuah profesi yang sangat terpinggirkan di RS.
***
Bagi sebagian Dokter Muda, untuk dapat menempuh pendidikan Co-Astnya, mereka harus meninggalkan rumah dan seluruh anggota keluarga. Jika beruntung mereka masih mempunyai kerabat di kota tempat pendidikan. Namun bagi yang tidak mempunyainya, maka Dia akan hidup sendirian di negeri orang. Tidak mudah untuk dapat hidup sendiri di negeri orang.
Pendidikan Co-Ast biasanya di bagi dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap hari kita akan melewatkan hari bersama teman sekelompok. Jika beruntung mendapatkan teman sekolompok yang klop, mereka akan terasa dekat seperti saudara bahkan tak jarang bisa menemukan pendamping hidup di sini. Saling berbagi suka dan duka, saling bahu membahu membantu menghadapi segala tantangan hidup. Beribu canda yang mereka tawarkan dan berjuta kenangan indah yang mereka berikan sehingga saat tiba waktunya untuk berpisah, terasa amat berat seakan sebagian hati ini ikut hilang bersama dengan kepergian mereka. Mereka adalah penawar luka, mereka adalah tongkat penyangga dan merekalah entertainer sejati.
***
Terima kasih untuk-Mu Sang Pemberi Kebahagiaan, terima kasih atas Semua Nikmat-Mu. Nikmat ilmu, nikmat kesehatan nikmat persaudaraan serta semua nikmat-Mu yang diri ini sendiri pun tak dapat menghitungnya. Hanya untuk-Mu lah segala puji dan jadikanlah hamba-Mu yang lemah ini orang selalu bersyukur atas segala nikmat-Mu. Amien…