CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Minggu, 01 Februari 2009

OLEH-OLEH DARI KLINIK ( SIRKUMSISI )

Beberapa minggu yang lalu Aku dapat libur menunggu putaran masuk ke SMF berikutnya. Sudah lama sebenarnya Aku menunggu hal yang satu ini, maklum selama masuk koast atau kurang lebih 1,5 tahun lebih, aku tidak pernah libur, bahkan terkadang hari minggu masih masuk jika kebetulan kena giliran jaga. Alangkah senangnya saat ada pengumuman bahwa untuk masuk SMF selanjutnya ada penundaan karena satu dan lain hal sehingga datang juga waktu libur yang amat sangat dinantikan untuk sedikit bernafas menghilangkan kejenuhan rutinitas. Namun sekalinya datang nikmat itu amat sangat melimpah dan bisa di bilang mubasir. 10 minggu bukan waktu yang singkat untuk berleha-leha tanpa aktivitas . Sempat bingung juga apa yang harus dilakukan untuk mengisi waktu yang hanya diberikan sekali dan tidak akan pernah datang kembali itu. Aneh ya… tapi itulah manusia yang terkadang baru bisa menyadari nikmat yang diberikan setelah nikmat itu diambil dari genggamannya, seperti Aku saat ini yang kurang bisa mensyukuri nikmat berupa aktivitas menuntut ilmu dan bekerja namun setelah nikmat itu pergi, Aku malah kebingungan untuk mencarinya lagi.
Akhirnya rencana pun di buat untuk mengisi waktu kosong. Beberapa minggu kupergunakan untuk benar-benar berlibur dari segala macam aktivitas. Setelah di rasa cukup, sisanya digunakan untuk menambah kemampuan diri. Salah satu pilihan yang Aku pilih adalah magang di sebuah praktek dokter dalam hal ini klinik lebih tepatnya. Selain untuk mengamalkan ilmu yang sudah dititipkan, juga belajar menghadapi medan yang sebenarnya yang akan dihadapi seorang dokter disamping masalah finansial tentunya.
Pasien pertama adalah dua orang bocah kelas 2 SD yang mau khitan. Wah gawat… selama masuk SMF bedah sampai Aku lulus tidak pernah diajari OPTEK sirkumsisi dan di bedah sentral maupun poli bedah umum tidak ada contoh kasus pasien yang dipotong prepusiumnya, yang merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki dalam sebuah ajaran agama supaya dapat suci lahir dan batin disamping masalah kesehatan. Bisa-bisa tuduhan malpraktek - yang memang sangat gampang dituduhkan orang-orang tak bertanggung jawab - di alamatkan padaku. Sebab sekarang Aku bertanggungjawab penuh atas pasienku tidak seperti di RS yang masih di bawah tanggung jawab dr Spesialis “sang guru”. Tapi kebetulan Aku mendapatkan pasien khitan dalam sebuah BAKSOS yang Aku ikuti namun ilmu itu sudah terkubur agak dalam di dalam korteks serebriku. Maka kuputuskan untuk menjadi asisten saja pada pasien yang pertama, sambil melihat dan memanggil kembali ilmu yang hampir terkubur itu, baru pada pasien kedua aku bertindak sebagai operator.
Pasien pertama cukup kooperatif sehingga operasi minor ini belangsung lancar dan singkat. Setelah pasien pertama berlalu maka di panggil pasien selanjutnya dan giliran aku untuk beraksi. Seorang bocah laki-laki kelas 2 SD dengan KU dalam batas normal masuk ke ruang operasi dengan sedikit senyum simpul di bibirnya yang mungil. Dengan tenang Dia naik sendiri ke meja operasi sambil membuka pakaian bagian bawahnya dan berbaring dengan rileks. Ku persiapkan alat-alat operasinya sambil ku lihat bocah kecil itu yang masih tersenyum simpul dengan damai. Namun Aku mulai sedikit demam panggung, tiba-tiba ruangan itu bertambah hangat sehingga tanpa terasa keringat dingin membasahi tubuhku dan Aku tidak mampu lagi mengontrol neurotransmitter di ototku, tremorlah kedua extremitas superior dan inferiorku. Kupandangi lagi pasien sirkumsisi pertamaku, seutas senyum simpulnya serasa angin sepoi-sepoi di pegunungan yang menyejukkan hati dan membangkitkan neurotransmitter antagonis yang berkompetisi menghambat neurotransmitter-neurotransmitter simpatik yang sedang kesetanan. Aku mulai disinfeksi lapangan operasi, “dingin” celoteh lucu anak itu saat Aku mengusapkan alkohol ke lapangan operasi. Disinfeksi selesai, langkah selanjutnya adalah anaetesi. Kali ini Aku mengunakan anaestesi lokal, kuambil seampul lidokain sambil memandangi bocah lucu dengan senyum yang terus mengambang. Lalu kupatahkan ampul itu dan kuambil spuit 3 cc, ku buka penutup jarumnya dan ke sedot isinya ke dalam spuit. Sesekali kupandangi bocah itu, dia masih berbaring dengan tenang namun kali ini senyum itu tak lagi menghiasi wajahnya hanya tampak kristal-kristal bening di bola matanya. Aku dekati sambil membawa spuit 3 cc berisikan lidokain dan berujar “suntik ya dik”. Tiba-tiba Kristal-kristal bening itu pecah menjadi bandang yang siap memporandakkan segala yang ada. Bocah itu meronta dengan keras tidak mau di suntik. Air laut yang tenang berubah menjadi tsunami hanya gara-gara sebuah jarum suntik dan ini juga merobohkan ketenangan dalam diriku. Tremor makin menjadi dan kamar semakin memnghimpit, mengikis kepercayaan diriku yang memang sekulit ari.
Bocah ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena memang sedari bayi mereka sudah di sugesti oleh lingkungannya bahwa “kalau nakal nanti di suntik sama dokter”. Jadi sudah tertanam dalam diri mereka bahwa disuntik itu adalah hal yang tidak menyenangkan serta menyakitkan. Dan sekarang, saat Sang anak harus benar-benar di suntik, orang tua tidak bisa serta merta dalam sekejap mata mengubah pandangan anak tentang jarum suntik yang sudah sangat mengakar dalam pikirannya.
Butuh sedikit waktu untuk menenangkannya, dan butuh lebih banyak orang untuk membantu memfiksasinya. Setelah semuanya sedikit terkendali, Aku berancang-ancang melakukan anaestesi. Namun baru satu jurus, Dia kembali meronta. Hal ini semakin mengikis kepercayaan diriku, takut salah, takut jarumnya patah, takut malah menusuk organ-organ yang lain dan pikiran-pikiran aneh lainnya yang terus mengganggu diriku. Hal ini terjadi berulang sampai benar-benar habis kepercayaan diriku untuk menganaestesinya. Akhirnya dengan berat hati tugas itu Aku serahkan sama seniorku. Singkat kata anaetesi selesai, setelah obat bekerja secara optimal, ku mulai tugas yang sebenarnya. Aku kumpulkan lagi sisa-sisa kepercayaan diriku. Aku mulai dengan memotong preputiumnya meskipun dengan tangan masih sedikit tremor dan keringat yang masih terus mengalir. Rasanya butuh omloop untuk sekedar mengelap keringatku yang mulai menggangu pandangan. Namun karena ini “hanya” operasi minor dan “hanya” klinik kecil jadi jasa omloop hanya dalam angan.
Setelah itu baru aku merawat perdarahan yang terjadi, yang dengan penuh rasa syukur kepada-Nya, perdarahan yang besar yang bisa menyebabkan pasien sampai syok tidak terjadi. Setelah itu ku jahit lukanya, pasang perban dan selesailah aku menangani pasien pertamaku dengan lancar.
Setelah semuanya selesai dan pasien sudah berpakaian rapi, tiba saatnya moment yang paling di tunggu-tunggu yaitu pemberian “uang jasa” he3x….. rasanya senang sekali yang sangat sukar digambarkan. Akhirnya sekian tahun belajar untuk mencapai saat ini, rasanya baru kali ini ilmu itu berguna dan kerja keras kita dalam menuntut ilmu terbayarkan. Namun timbul juga di lema saat mengingat waktu Aku bermalas-malasan belajar. Aku tidak pernah sadar bahwa dari hasil belajarlah nantinya aku dibayar untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Dan dengan belajar, semakin banyak orang yang dapat Aku bantu. Tentunya peran Aku disini hanya sebagai perantara dari Yang Mempunyai Segala Kuasa atas itu.
Satu hal lagi yang Aku sadari, bahwa kekurangpercayaan diriku saat menangani pasien karena kurangnya ilmuku. Seandainya ilmu Aku tentang sirkumsisi baik, ilmu komunikasiku dengan pasien baik dan ilmu-ilmu yang kudapat dari pengalaman kasus saat koast mumpuni, tentu hal ini tidak akan terjadi. Mudah-mudahan di sisa waktuku ini, Aku dapat belajar lebih banyak lagi baik dari buku maupun dari pengalaman. Dan semoga apa yang kulakukan pada pasien ini bisa menjadi sumber pahala meskipun raga ini tak lagi berkelana di atas muka bumi. Amien…

OLEH-OLEH DARI KLINIK ( ENSEFALOPATI HEPATIS )

Petang yang indah, sang surya baru saja menunaikan tugasnya hari ini dengan sedikit meninggalkan cahaya kemerahan di ufuk barat dan mengetuk pintu membangunkan insan di belahan bumi lain. Cahaya itu masih sanggup menyinari pucuk-pucuk padi yang masih hijau membentang di hamparan sawah nan asri. Cahaya itu juga masih sanggup menuntun kawanan burung kembali kesarangnya setelah sepanjang hari berkelana. Angin sepoi-sepoi mengiringinya memberi sejuta ucapan terima kasih telah menghangatkan bumi.
Petang ini kusempatkan diriku dari teras belakang menikmati fenomena keindahan alam nan alami yang setiap hari terjadi namun sangat jarang menikmatinya. Fenomena siang berganti malam yang kerap kali terabaikan padahal dalam itu semua terdapat berjuta ilmu bagi yang membacanya.
Sayup-sayup ku dengar langkah seseorang mendekati klinik, kulangkahkan kakiku ke depan. Ternyata benar, seorang wanita yang kukenal baik datang tergopoh-gopoh. Tanpa banyak basa-basi, wanita itu bilang bahwa ayahnya seperti orang bingung. Diajak bicara tidak nyambung dan gelisah tidak karuan. Dia memintaku untuk datang memeriksanya di rumahnya.
Segera kuambil peralatan kedokteran dasarku, tanpa membuang waktu ku segera berangkat. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari klinik, sehingga kurang dari 5 menit aku sudah sampai. Disana sudah ramai para sanak saudara dan tetangga karena memang kultur masyarakatnya masih mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi. Ku segera masuk dan kulihat keadaan pasien, seorang laki-laki usia 75 tahunan dengan kesadaran menurun “delirium” dan tubuhnya tampak ikterus. Tekanan darah masih 130/70 mmHg. Dari riwayat penyakitnya, pasien ini sudah menderita diabetes mellitus sejak usia 30 tahunan yang tidak terkontrol. Sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu, dia didiagnosis sirosis hepatic dan gagal ginjal kronik dengan asites yang sukar di kendalikan. Saat itu Aku langsung mendiagnosis ensephalopathi hepatic stadium I-II e.c sirosis hepatis Child C dengan sindroma hepatorenal. Kasus yang berat nich… prognosisnya dubia ad malam. Memang untuk pasien yang ensephalopthi hepatic tipe portosistemik seperti pasienku ini, jika factor pencetus dapat teratasi, dengan pengobatan standar 80% bisa kembali sadar. Namun untuk melakukan pengobatan standart sulit tercapai. Jangankan melakukan lavement, untuk memasang infuse saja, untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan serta jalur memasukkan obat, tentangan dari keluarganya sangat tinggi. Hal ini ada beberapa sebab : (1) saat tangan pasien dipegang untuk dipasang infuse pasien menarik tangannya. Menurut keluarga dan para tetangga, itu berarti pasien menolak tetapi tidak tahu cara untuk bilang pada kita. Padahal menurut Aku, hal ini karena GCS pasien menurun sehingga gerakan yang terjadi adalah involunter dan pada tes movement hal ini menunjukkan angka 4 menurut GCS. (2) hasutan dari para kerabat dan tetangga serta paranormal yang bilang karena kerasukan jin-lah padahal hal ini sudah jelas gejala neuropsikiatri dengan et causa yang sudah jelas “sirosis hepatis”. Parahnya mereka lebih percaya “orang pintar” daripada Aku sebagai seorang dokter, mungkin Aku “bukan orang pintar kali yach” bagi mereka. Aku Sebagai seorang Dokter, meskipun hanya dokter muda yang sedang magang, hanya bisa menyarankan serta memberikan penjelasan seperlunya namun keputusan sepenuhnya berada di tangan pasien dan keluarga.
Rasa marah, kecewa, kasihan dan putus asa bercampur aduk. Terkadang muncul sebersit pikiran untuk membiarkannya toh meskipun pasien itu bisa sadar namun penyakit dasarnya “sirosis hepatis” tidak bisa disembuhkan kecuali dengan transplantasi hati. Namun yang memegang takdir bukan Aku dan Aku tidak boleh mendahului takdir sebab Aku tidak tahu takdir untuknya seperti apa sehingga Aku hanya bisa berusaha dan menyerahkan hasilnya pada Yang Mengatur Takdir. Keadaan ini diperparah oleh semua orang yang bertanya padaku ingin tahu penyakit pasien. Susah juga untuk menjelaskannya, sebab Aku terikat sumpah dokter bahwa akan menjaga kerahasiaan kesehatan pasien, namun orang-orang itu tidak tahu dan tidak mau tahu. Kalau Aku tidak menjawab, dikira Aku hanya dokter yang baru lulus yang tidak tahu apa-apa. Ku jelaskan secara implisit, namun pendidikan mereka yang rata-rata rendah tidak juga mengerti. Ingin kujelaskan secara gamblang bahwa ini rahasia pasien, rasanya kurang sopan sebab mereka umumnya lebih tua dan kenal baik dengan Aku. Aku hanya senyam senyum sambil menjawabnya dengan apa yang sudah mereka ketahui tentang penyakit pasien sebelumnya. Satu lagi PR besar buatku yaitu belajar berkomunikasi dengan baik dengan semua kalangan.
Setelah beberapa jam, akhirnya kesadaran pasien terus menurun sampai pada “sopor”. Pasien seakan kelelahan dan tidur dengan pulas, namun para keluarga dan tetangga malah senang karena pasien tenang. Sementara Aku semakin ketar-ketir GCS semakin menurun. Aku periksa tekanan darahnya, wow… 170/110 mmHg. Sindroma hepatorenal yang mengakibatkan teraktivasinya system RAA (renin-angiotensin-aldosteron), GGK kumat. Hipertensi berat… varises oegshophagus lalu hematemesis-melena mengancam, bila hal ini terjadi tentu keadaannya semakin parah. Setelah ku beri penjelasan dan sedikit bujukan pada keluarga pasien, akhirnya mereka bersedia pasang infuse untuk mengatasi GGK-nya tersebut. Akhirnya infuse terpasang, cefotaxim dan furosemide berhasil masuk. Namun lavement dan laktulosa per oral masih tidak dapat dilakukan karena mereka juga menolak pasang NGT.
Prinsip penanganan GGK, pasien tidak boleh kekurangan cairan namun juga tidak boleh kelebihan cairan. Saat ini pasien mengalami penurunan perfusi ginjal, perlu tambahan cairan segera. Namun pasien juga mengalami hipoalbumin yang diketahui dari pemeriksaan lab sebelumnya. Waduh bagaimana ini, mau di grojok salah-salah edema paru. Tetesan biasa sampai kapan baru bisa mengatasi penurunan perfusi ginjal. Mau dirujuk ke RS, keluarga pasien tidak bersedia. Timbul lagi penyesalan mengapa Aku tidak belajar lebih banyak lagi sehingga ilmuku tidak terbatas seperti sekarang. Ingin rasanya ada para dosen pembimbing disebelahku sehingga Aku bisa bertanya dan belajar lebih banyak lagi. Akhirnya dengan bekal ilmu seadanya, kuputuskan mengambil jalan tengah, 40 tetes permenit. Aku observasi ketat, ku cek tanda vitalnya, suara parunya dan tak lupa produksi urine dari kondom kateter. Setelah 2 flash comafusin dan asering masuk, kulihat produksi urine sekitar 0,5 cc/kgBB/jam dan Aku ukur tekanan darahnya lagi, uh… 140/80 mmHg. Syukurlah… satu masalah teratasi dan pengobatan medis dapat dilakukan meskipun tidak optimal 100 %. Setelah itu tetesan aku ganti maintenance 20 tpm, ku observasi beberapa saat.
Setelah ku pikir keadaan pasien sudah stabil, aku pun pergi untuk berkompromi dengan rasa ngantuk setelah sepanjang malam berjuang keras berusaha menjadi perantara-Nya yang terbaik. Berjuang melawan progresifitas penyakit, berjuang menyakinkan keluarga dan tetangga pasien, serta yang terberat melawan diri sendiri. Melawan putus asa, melawan marah, melawan perasaan tidak dihargai dan melawan penyesalan karena kebodohan diri sendiri.
Semua hal yang telah dipercayakan pada Kita, selalu meminta konsekuensi. Ilmu kedokteran yang telah dipercayakan di titipkan padaku juga telah meminta konsekuensinya, seperti malam ini. Dan sungguhpun Kita tidak bisa menuntut lebih hal yang akan dipercayakan pada kita, sebab Zat Yang Memilikinya Maha Mengetahui kadar kemampuan Kita. Semoga Aku senantiasa menjadi orang yang pandai bersyukur dan pandai dalam menjaga amanah.