CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Senin, 13 April 2009

EPISODE IKM

Sebulan ini Aku harus keluar sejenak dari hiruk pikuk gemerlap dunia metropolitan, karena dalam satu bulan ke depan Aku harus mengikuti SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat di sebuah Puskesmas pinggiran kota. Seperti pada umumnya Puskesmas, Puskesmas ku pun terletak di ibu kota kecamatan. Dari jantung kota metropolitan di ujung timur pulau Jawa, jaraknya hanya sekitar 35 Km yang bisa di tempuh dengan kendaraan bermotor ± 50 menit. Namun apa yang ada disana sungguh amat jauh berbeda dengan kota metropolitan. Tak ada hiruk pikuk keramaian kota di sana, bahkan kepemilikan WC pun masih jauh dari harapan dan kalaupun ada, kualitasnya juga sangat jauh dari standart yang ada di kota. Kegiatan MCK masih dilakukan di sungai. Tingkat pendidikan dan pola berfikirnya masih sedikit yang sudah tersentuh modernisasi jaman. Mungkin ini adalah ironi Negara berkembang, kesenjangan social yang ada sungguh sangat besar.

Tetapi sudahlah, bukan porsiku untuk memikirkannya. Sudah banyak ahli yang kepalanya sampai botak yang lebih berkompeten untuk menilainya. Sekarang tugasku adalah menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan lingkunganku yang baru. Sebagai seseorang yang dibesarkan di sebuah tempat penuh kesunyian, dengan lantang kukatakan pada diriku sendiri : “ Aku pasti pasti bisa “. Kumantapkan langkah kaki memasuki kamar kosku yang baru. Sebuah kamar kos yang sederhana berukuran 2,5 x 2,5 m yang didalamnya terdapat sebuah dipan, lemari, serta sebuah meja dan kursi yang semuanya masih dalam kondisi yang layak pakai meskipun sederhana. Lantainya masih dari semen di alasi karpet dari plastic meskipun hanya separuh dari ruangan. Dindingnya terawat dengan baik yang masih tercium bau cat tembok, dan yang paling Aku suka adalah warna temboknya sesuai dengan warna kesukaanku, warna hijau. Sebuah kipas angin sudah tersedia tergantung di atapnya tanpa perlu Aku membayar uang listriknya seperti kosku di kota. “ baik banget nich bu kosnya “, gumamku dalam hati. Harga sewanya juga sangat murah 1/3 dari harga sewa sebuah kamar kos standart di kota. Yach… lumayan lah buat anak kos seperti Aku.

Barang-barangku sudah beres aku rapikan, GI track-ku sudah memberikan kode bising usus meningkat. Sudah saatnya Aku berburu makan malam. Tidak sulit untuk menemukan warung penjual makanan, 20 m dari kosku ada warung nasi yang ramai dikunjungi pembeli. Asumsi dasarku, warung ini ramai pasti enak. Untuk membuktikannya, Aku pesan seporsi nasi lodeh. Selang berapa lama, yang aku tunggu datang juga. Ku mulai suapan pertama nikmat yang telah diberikan padaku. Ehm… lumayan, glossus sampai gasterku tidak menunjukkan reaksi alergi, apalagi setelah Aku tahu harganya, hanya setengah harga makanan di kota. Wah… wah…wah…wah, bisa gemuk sebulan Aku disini tanpa diet tidak perlu seperti di kota.

Kokok ayam dan kicauan burung mengiringi semerbak desau angin semilir. Kristal-kristal bening bertahta dalam hijau dedaunan memantulkan kemilau mentari pagi. Kabut-kabut halus menutupi kemuning padi yang masih tertunduh malu menghadapi dunia. Sebuah ketokan berirama halus membangunkanku dari mimpi indah.
“ nak, ini dimakan dulu “
Sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat tersaji dihadapanku. Wow… nikmat apalagi yang diberikan padaku, dengan harga sewa separuhnya bisa dapat pelayanan dua kali lipatnya. Terima kasih Sang Pengatur Rezeki, sungguh rezeki untuk kita memang sudah ada, kita hanya tinggal untuk menjemputnya. Timbul sebersit pertanyaan dalam hati, “ mengapa di desa kecil seperti di sini, dengan harga sewa jauh di bawah di kota, namun pelayanan yang diberikan pada pelanggan jauh melebihi apa yang ada di kota? Apa mereka mendapatkan keuntungan dari usahanya? Apa mereka tidak rugi? Apa mungkin rasa kemanusiaan mereka lebih tinggi belum tergerus modernisasi yang serba individualistik? Atau mungkin orang kota yang telah menjadi monster pengeruk uang karena semua sendi kehidupan mereka telah di ukur dengan uang?”. Huh… kusantap makanan yang terhidang di depanku, mungkin setelah perutku kenyang, Aku dapat menemukan jawabannya.

Hari ini adalah hari pertamaku masuk di Puskesmas. Kali ini Aku tergabung dengan kelompok yang baru. Anggotanya 6 orang, 3 orang dari kelompokku yang dulu termasuk Aku dan 3 orang lagi pecahan dari kelompok yang lain. Hari ini sesuai jadwal, Kami akan di terima secara resmi oleh dokter kepala Puskesmas dan berkenalan dengan lingkungan Puskesmas. Kepala Puskesmasku adalah seorang perempuan berusia sekitar 50 tahunan yang masih kelihatan cantik sesuai dengan usianya. Kebetulan putri dari beliau adalah junior Kami di kampus. Kami di sambut dengan tangan terbuka dan penuh keramahan oleh seluruh perangkat yang ada di Puskesmas. Sangat jauh berbeda dengan apa yang Aku dapatkan di Rumah Sakit. Kami merasa sangat dihargai dan kehadiran Kami disana sepertinya memang diharapkan. Tugas Kami disini adalah ikut seluruh kegiatan Puskesmas yang berhubungan langsung dengan kesehatan masyarakat, seperti : Posyandu balita, Posyandu lansia, penyuluhan, imunisasi, UKS, dll. Namun Kami tidak di minta untuk ikut dalam pelayanan kesehatan di poli, UGD maupun di rawat inap. Betapa senangnya hati kami, tugas Kami tidak terlalu berat sehingga Kami dapat lebih berkonsentrasi dalam mengerjakan penelitian di Puskesmas.

Hari-hari berlalu agak lebih lambat dari kehidupan di kota. Tak ada sarana dan kegiatan yang dapat dilakukan untuk dapat membuat waktu berputar lebih cepat. Hari-hariku banyak kuhabiskan dalam kamar kosku yang sepi, dalam kesendirian nan sunyi, dan riuh jeritan nyamuk-nyamuk kelaparan. Tak banyak hal yang dapat kulakukan selain membaca dan meratapi kesendirianku dalam sepi. Teman-temanku mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Butuh waktu untuk beradaptasi dengan kelompok yang baru. Dalam hal kegiatan di Puskesmas mungkin kita tidak ada banyak kesulitan, tetapi untuk kehidupan pribadi di luar itu, rasanya butuh kebersamaan lebih lama lagi apalagi latar belakang kita yang jauh berbeda. Sedangkan dengan anggota kelompokku yang lama, rasanya perekat hubungan kita selama koas ikut hilang bersama perginya saudara-saudara seperjuangan Kami dari universitas yang berbeda itu. Meskipun hubungan kita di sini baik-baik saja tetapi semua berjalan tanpa ada suatu bumbu manis yang akan membuat kita terkenang untuk waktu yang lama.

Kegiatan-kegiatan di luar sekolah juga tidak ada di sini. Lingkungan keagamaanku juga ikut hilang hingga waktu terasa berjalan mundur ke belakang. Keterampilan dan pengetahuan di bidang medis pun berjalan di tempat, yang sedikit demi sedikit menguap seiring teriknya cuaca tropis. Betapa banyak menit yang terbuang. Sekeras apapun ku berusaha, yang ada hanya kebosanan yang menghampiri. Membuntutiku bagai bayangan hitam yang setia ikut melangkah kemanapun Aku pergi. Akhirnya ku sadar, ternyata yang menguatkan Aku saat Aku tumbuh dewasa dilingkungan yang sepi adalah karena adanya orang-orang terkasih di sebelahku. Orang-orang yang dengan penuh cintanya, meskipun cara untuk mengungkapkannya berbeda-beda, setia menemani dan membimbingku melewati waktu demi waktu yang sangat berharga.

Kebosanan telah mencapai titik kulminasi. Ku pacu motorku menyusuri jalanan berdebu melawan macetnya lalu lintas metropolitan penuh dengan deru dan tiupan klakson. Kupandangi bangunan-bangunan megah nan indah sepanjang perjalanan menuju kos teman lamaku untuk menyambung kembali silaturrahmi dan mengobati kebosananku. Dan kebetulan teman lamaku itu kondisi psikologis saat ini sama denganku, sedang dilanda kebosanan bagai semut yang kelaparan di stoples penuh dengan gula nan manis. Maka kita putuskan melewatkan hari ini untuk menikmati kehidupan kota. Mendatangi mall-mall satu per satu yang tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Entah untuk berbelanja atau sekedar mengobati mata yang kelaparan. Film demi film di bioskop juga menjadi menu kita hari ini.

Kebosanan-kebosanan itu terobati, namun di saat kaki ini letih untuk melangkah. Saat kenikmatan-kenikmatan itu terus Aku nikmati, ternyata kenikmatan itu membawaku pada kebosanan yang sama meskipun dalam wujud yang berbeda. Kebosanan yang muncul lagi meskipun saat ini Aku tengah berdiri di tengah keramaian kota. Apalagi saat teringat tugas-tugas yang terbengkalai, teringat berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobati kebosanan, dan teringat betapa banyak dosa yang telah diperbuat sepanjang hari ini, rasanya kenikmatan yang ku alami tiada artinya.
Akupun bertanya pada diriku sendiri, mengapa kebahagiaan harus didapatkan di luar dari tubuh kita sendiri? Mengapa begitu besar pengaruh factor eksternal untuk membuat kita bahagia, padahal kebahagian yang diberikannya hanyalah kebahagiaan yang semu? Bukankah kita merupakan mahkluk yang diciptakan paling sempurna yang sudah dilengkapi alat untuk membuat kita bahagia? Dan bukankah kebahagiaan adalah fitrah Kita, coba lihat anak kecil, begitu riangnya mereka menikmati hidup? Dimanakah keberadaan tombol kebahagiaan hakiki itu, hingga Aku bisa memencetnya dan melewati detik demi detik yang tidak akan pernah terulang ini penuh dengan kebahagiaan tanpa terganggu sedikitpun dengan kebosanan?

0 komentar: